Perwata – Acara
forum silaturahmi Musyawarah Pimpinan Kota dengan Tokoh Masyarakat, dan Tokoh
Agama, diselenggarakan di hotel Grand Prioritas Cisarua, Bogor, Jawa Barat, pada
tanggal 27 – 29 November 2013. Acara disponsori oleh Kesbangpol Jakarta Timur
bersama dengan Kasubbid Hubungan
Kelembagaan, Saurma M. Sagala SH.MSi.
Wakil Walikota Jakarta Timur, Drs. H. Husein Murad, M.Si, membacakan kata sambutan Walikota Jakarta Timur Pada Acara Kegiatan Forum Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di Kota Administrasi Jakarta Timur, 27 November 2013.
Wakil Walikota Jakarta Timur, Drs. H. Husein Murad, M.Si, membacakan kata sambutan Walikota Jakarta Timur Pada Acara Kegiatan Forum Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di Kota Administrasi Jakarta Timur, 27 November 2013.
Kepada YTH:
1.
Kepala Kantor Kesbang dan Politik Kota
Administrasi Jakarta Timur
2.
Para Narasumber/Moderator
3.
Para Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat,
Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan dan Para Hadirin yang Berbahagia
Assalamu’alaikum WR.WB
Pada kesempatan yang
indah dan berbahagia serta penuh makna ini, marilah kita panjatkan puji dan
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas perkenan dan ridhoNya, sehingga
dalam keadaan sehat wal-afiat kita dapat bertatap muka pada acara “Forum
Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di Kota
Administrasi Jakarta Timur”, yang diselenggarakan oleh Kantor Kesatuan Bangsa
dan Politik Kota Administrasi Jakarta Timur, yang bersama-sama kita hadiri saat
ini.
Hadirin yang berbahagia
Peneliti LIPI (DR. Mohctar
Pabotinggi) pernah mengatakan bahwa “Reformasi adalah era tanpa orde, karena
kiprah partai-partai politik seperti pertunjukkan tari tanpa jelas panggungnya,
bahkan tidak jelas pula jenis tariannya. Sebab parpol-parpol yang muncul di era
tanpa orde ini tidak lagi menampilkan tarian yang bermanfaat bagi penonton,
melainkan bermanfaat bagi parpol-parpol itu sendiri. Penonton (rakyat) bukannya
tersenyum, tapi mungkin malah menangis dan berduka cita karena parpol tak lagi
menemukan diri sebagai pembela nasib rakyat, melainkan menjadi salah satu
pelaku utama atau setidaknya pemicu utama merebaknya distorsi kekuasaan, yang
membuka ruang korupsi sebagai biang krisis multi dimensi yang semakin deras
mendera bangsa ini.
Disisi lain, pada era
reformasi sebagai orde tanpa orde ini, juga merebak klaim-klaim yang bernuansa
SARA, yang ditandai dengan berbagai bentuk gerakan radikalisme atas nama agama.
Era reformasi dipandang sebagai peluang untuk menegakan sistem pemerintahan
yang tidak lagi berdasarkan Pancasila, melainkan berdasarkan hukum agama tertentu.
Dan ini telah menimbulkanpercikan-percikan konflik horizontal, karena negara
kita dihuni oleh bangsa yang serba pluralis, yang memiliki sekian banyak, suku,
etnis, dan golongan dengan berbagai agama, adat dan kepercayaan.
Saudara-saudara
sekalian.
Realitas pluralisme
yang tak mungkin disatukan diatas landasan hukum suatu agama tertentu, atau
satu budaya dan kepercayaan tertentu, kiranya dapat menyandarkan kita untuk
lebih mengedepankan “Pancasila dan UUD 1945” yang telah mengakomodir pluralism tersebut,
baik secara normatif maupun secara “Value Sistem” yang diharapkan akan mampu
membangun Indonesia mencapai “Kejayaan” dalam bingkai “NKRI”.
Abdurahman Wahid
mengatakan agar agama bisa menjadi
penopang perwujudan demokrasi, maka perlu reinterpretasi dengan menjadikan
agama lebih sebagai sebuah wawasan moralitas. Itu artinya agama diharapkan
lebih mementingkan etika sosial, akhlak manusia, daripada mementingkan legal formalism
agama. Sangat salah bila nilai-nilai normatif agama dipaksakan kepada setiap
orang didalam bentuk aturan-aturan negara.
Dari pernyataan diatas,
barangkali perlu dibangun suatu kesadaran, bahwa ketika agama dilahirkan,
sebenarnya membawa misi untuk menjalin hubungan
antar sesame umat manusia (sesame atau berbeda agama) dan memiliki
dimensi solidaritas yang dapat menjembatani berbagai kepentingan manusia dalam
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain sebagainya dalam suatu
komunitas, dimana ia berada. Landasannya adalah solidaritas dan toleransi yang
berarti menyadari dalam menjalin hubungan itu ada perbedaan-perbedaan prinsip,
keyakinan atau paham sebagai “Kebenaran Mutlak” yang dianut masing-masing
orang.
Masalahnya, solidaritas
dan toleransi justru menghilang ketika agama menjadi jembatan untuk kepentingan
politilk atau bahkan kendaraan politik yang bersifat eklusif. Agama tidak lagi
menjadi “Innerforce” yang memotivasi pemeluknya untuk menghayati makna “Agree
in Disagreement” sebaliknya malah menjadi senjata untuk mendiskreditkan orang
lain yang tidak seagama. Kebenaran mutlak hanya menjadi miliknya, namun harus
dipatuhi (diimani) pula oleh orang lain.
Agama menjadi jembatan
untuk melegitimasi diskriminasi atas dasar mayoritas-minoritas, dimana yang
minoritas harus tunduk dan mengikuti aturan agama yang dipeluk kelompok
mayoritas. Pluralisme demokrasi diperuntuhkan oleh tirani mayoritas. Filosof
sosial Sisella Bok, mengatakan motivasi akan menjadi issue sentral abad 21. Alasannya,
adalah bahwa kepercayaan atau “trust” berbagai solusi sosial, nasional, dan
internasional tidak mungkin dicapai.
Saudara sekalian yang
saya banggakan.
HD Haryono Sosongko
penulis buku “Kerukunan Beragama, Daulat Politik dan Reformasi” mengatakan, “Negara-negara
yang telah berhasil mengalahkan kemiskinan, kebodohan dan penindasan dan
melahirkan demokrasi adalah justru negara-negara dimana nalar masyarakatnya
tidak didominasi oleh dokrin keagamaan. Selama inipun agama hanya dominan
(memperoleh pasar) di masyarakat atau negara terbelakang atau boleh juga kita katakana
sebaliknya, masyarakat menjadi terus terbelakang, karena dominasi nalar
keagamaan yang dogmatic eklusivistik. Dimana agama dominan, disitu pula dominan
kemiskinan, kebodohan dan penindasan, sementara domokrasi mengalami kemiskinan.
Sebab agama yang telah menjadi institusi kepentingan politik tidak mengenal
demokrasi. Yang tampil kepermukaan adalah sikap otoriterfasistik.
Sekali lagi semua ini
sama sekali bukan kesalahan agama juga tak bisa dijadikan kambing hitam, karena
agama lalu lahir kemiskinan, kebodohan dan penindasan. Agama justru untuk
menegakkan demokrasi. Kalau yang muncul sebaliknya, maka para “Tokoh” yang
menafsirkan kemudian menyebabkan penafsiran tentang ajaran agamanya itu yang
harus diminta tanggungjawabnya. Disinilah agama menjadi seperti mobil,
tergantung bagaiman yang menjalankan. Orang yang tidak paham rambu-rambu lalu
lintas membuka kemungkinan seluruh penumpang mobil yang dikemudikannya
(termasuk sopirnya sendiri) celaka.
Hadirin yang berbahagia
Melalui Forum
Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama ini, saya berharap
ada satu “pencerahan” didalam kita membangun, kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar pemuluk agama dengan
pemerintah, sehingga dengan demikian akan terbangun dan terpelihara stabilitas
sosial yang berdampak terhadap perwujudan stabilitas nasional, yang
memungkinkan terpeliharanya kelangsungan pembangunan nasional, khususnya pembangunan
di kota administrasi Jakarta Timur.
Terkait dengan harapan
dimaksud, saya berharap agar para tokoh agama/tokoh masyarakat mampu
meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan terhadap kemungkinan timbulnya konflik
yang bernuansa keagamaan. Untuk itu diperlukan usaha seperti membentuk jaringan
antar umat beragama, sebagai wadah atau forum dialog umat beragama, mulai dari
tingkat Kelurahan/Kecamatan dan Kota hingga lingkungan yang lebih luas.
Pada sisi lain para
Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat perlu meningkatkan wawasan kebangsaan
(nasionalisme) agar terbangun pemahaman, bahwa pluralisme adalah anugerah Tuhan
yang harus dikelola menjadi potensi pembangunan bangsa dan negara, demi
kesejahteraan bersama. Saya percaya para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat di
kota administrasi Jakarta Timur telah berbuat untuk memantapkan kerukunan antar
umat beragama, karenanya saya berharap kiranya kita tetap bekerjasama untuk
membangun kebersamaan dan terus berkarya demi kemajuan bangsa dan negara,
khususnya kota administrasi Jakarta Timur. Akhirnya dengan mengucapkan “Bismillahirohmannirohim
“Forum Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di kota
administrasi Jakarta Timur, secara resmi saya nyatakan dibuka.
Sekian dan terima
kasih.
Wabillahi taufik wal
hidayah
Wassalamu a’laikum
WR.WB
Walikota Jakarta Timur
Drs.H. Krisdianto, M.Si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar