Jumat, 29 November 2013

Forum Silaturahmi Pimpinan Kota




Perwata – Acara forum silaturahmi Musyawarah Pimpinan Kota dengan Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama, diselenggarakan di hotel Grand Prioritas Cisarua, Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 27 – 29 November 2013. Acara disponsori oleh Kesbangpol Jakarta Timur bersama dengan Kasubbid  Hubungan Kelembagaan,  Saurma M. Sagala SH.MSi. 

Wakil Walikota Jakarta Timur, Drs. H. Husein Murad, M.Si, membacakan kata sambutan Walikota Jakarta Timur Pada Acara Kegiatan Forum Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di Kota Administrasi Jakarta Timur, 27 November 2013. 
Kepada YTH:
1.     Kepala Kantor Kesbang dan Politik Kota Administrasi Jakarta Timur
2.     Para Narasumber/Moderator
3.     Para Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan dan Para Hadirin yang Berbahagia

Assalamu’alaikum WR.WB

Pada kesempatan yang indah dan berbahagia serta penuh makna ini, marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas perkenan dan ridhoNya, sehingga dalam keadaan sehat wal-afiat kita dapat bertatap muka pada acara “Forum Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di Kota Administrasi Jakarta Timur”, yang diselenggarakan oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Administrasi Jakarta Timur, yang bersama-sama kita hadiri saat ini.
Hadirin yang berbahagia
Peneliti LIPI (DR. Mohctar Pabotinggi) pernah mengatakan bahwa “Reformasi adalah era tanpa orde, karena kiprah partai-partai politik seperti pertunjukkan tari tanpa jelas panggungnya, bahkan tidak jelas pula jenis tariannya. Sebab parpol-parpol yang muncul di era tanpa orde ini tidak lagi menampilkan tarian yang bermanfaat bagi penonton, melainkan bermanfaat bagi parpol-parpol itu sendiri. Penonton (rakyat) bukannya tersenyum, tapi mungkin malah menangis dan berduka cita karena parpol tak lagi menemukan diri sebagai pembela nasib rakyat, melainkan menjadi salah satu pelaku utama atau setidaknya pemicu utama merebaknya distorsi kekuasaan, yang membuka ruang korupsi sebagai biang krisis multi dimensi yang semakin deras mendera bangsa ini.
Disisi lain, pada era reformasi sebagai orde tanpa orde ini, juga merebak klaim-klaim yang bernuansa SARA, yang ditandai dengan berbagai bentuk gerakan radikalisme atas nama agama. Era reformasi dipandang sebagai peluang untuk menegakan sistem pemerintahan yang tidak lagi berdasarkan Pancasila, melainkan berdasarkan hukum agama tertentu. Dan ini telah menimbulkanpercikan-percikan konflik horizontal, karena negara kita dihuni oleh bangsa yang serba pluralis, yang memiliki sekian banyak, suku, etnis, dan golongan dengan berbagai agama, adat dan kepercayaan.
Saudara-saudara sekalian.
Realitas pluralisme yang tak mungkin disatukan diatas landasan hukum suatu agama tertentu, atau satu budaya dan kepercayaan tertentu, kiranya dapat menyandarkan kita untuk lebih mengedepankan “Pancasila dan UUD 1945” yang telah mengakomodir pluralism tersebut, baik secara normatif maupun secara “Value Sistem” yang diharapkan akan mampu membangun Indonesia mencapai “Kejayaan” dalam bingkai “NKRI”.
Abdurahman Wahid mengatakan agar  agama bisa menjadi penopang perwujudan demokrasi, maka perlu reinterpretasi dengan menjadikan agama lebih sebagai sebuah wawasan moralitas. Itu artinya agama diharapkan lebih mementingkan etika sosial, akhlak manusia, daripada mementingkan legal formalism agama. Sangat salah bila nilai-nilai normatif agama dipaksakan kepada setiap orang didalam bentuk aturan-aturan negara.
Dari pernyataan diatas, barangkali perlu dibangun suatu kesadaran, bahwa ketika agama dilahirkan, sebenarnya membawa misi untuk menjalin hubungan  antar sesame umat manusia (sesame atau berbeda agama) dan memiliki dimensi solidaritas yang dapat menjembatani berbagai kepentingan manusia dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain sebagainya dalam suatu komunitas, dimana ia berada. Landasannya adalah solidaritas dan toleransi yang berarti menyadari dalam menjalin hubungan itu ada perbedaan-perbedaan prinsip, keyakinan atau paham sebagai “Kebenaran Mutlak” yang dianut masing-masing orang.
Masalahnya, solidaritas dan toleransi justru menghilang ketika agama menjadi jembatan untuk kepentingan politilk atau bahkan kendaraan politik yang bersifat eklusif. Agama tidak lagi menjadi “Innerforce” yang memotivasi pemeluknya untuk menghayati makna “Agree in Disagreement” sebaliknya malah menjadi senjata untuk mendiskreditkan orang lain yang tidak seagama. Kebenaran mutlak hanya menjadi miliknya, namun harus dipatuhi (diimani) pula oleh orang lain.
Agama menjadi jembatan untuk melegitimasi diskriminasi atas dasar mayoritas-minoritas, dimana yang minoritas harus tunduk dan mengikuti aturan agama yang dipeluk kelompok mayoritas. Pluralisme demokrasi diperuntuhkan oleh tirani mayoritas. Filosof sosial Sisella Bok, mengatakan motivasi akan menjadi issue sentral abad 21. Alasannya, adalah bahwa kepercayaan atau “trust” berbagai solusi sosial, nasional, dan internasional tidak mungkin dicapai.
Saudara sekalian yang saya banggakan.
HD Haryono Sosongko penulis buku “Kerukunan Beragama, Daulat Politik dan Reformasi” mengatakan, “Negara-negara yang telah berhasil mengalahkan kemiskinan, kebodohan dan penindasan dan melahirkan demokrasi adalah justru negara-negara dimana nalar masyarakatnya tidak didominasi oleh dokrin keagamaan. Selama inipun agama hanya dominan (memperoleh pasar) di masyarakat atau negara terbelakang atau boleh juga kita katakana sebaliknya, masyarakat menjadi terus terbelakang, karena dominasi nalar keagamaan yang dogmatic eklusivistik. Dimana agama dominan, disitu pula dominan kemiskinan, kebodohan dan penindasan, sementara domokrasi mengalami kemiskinan. Sebab agama yang telah menjadi institusi kepentingan politik tidak mengenal demokrasi. Yang tampil kepermukaan adalah sikap otoriterfasistik.
Sekali lagi semua ini sama sekali bukan kesalahan agama juga tak bisa dijadikan kambing hitam, karena agama lalu lahir kemiskinan, kebodohan dan penindasan. Agama justru untuk menegakkan demokrasi. Kalau yang muncul sebaliknya, maka para “Tokoh” yang menafsirkan kemudian menyebabkan penafsiran tentang ajaran agamanya itu yang harus diminta tanggungjawabnya. Disinilah agama menjadi seperti mobil, tergantung bagaiman yang menjalankan. Orang yang tidak paham rambu-rambu lalu lintas membuka kemungkinan seluruh penumpang mobil yang dikemudikannya (termasuk sopirnya sendiri) celaka.

Hadirin yang berbahagia
Melalui Forum Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama ini, saya berharap ada satu “pencerahan” didalam kita membangun, kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar pemuluk agama dengan pemerintah, sehingga dengan demikian akan terbangun dan terpelihara stabilitas sosial yang berdampak terhadap perwujudan stabilitas nasional, yang memungkinkan terpeliharanya kelangsungan pembangunan nasional, khususnya pembangunan di kota administrasi Jakarta Timur.
Terkait dengan harapan dimaksud, saya berharap agar para tokoh agama/tokoh masyarakat mampu meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan terhadap kemungkinan timbulnya konflik yang bernuansa keagamaan. Untuk itu diperlukan usaha seperti membentuk jaringan antar umat beragama, sebagai wadah atau forum dialog umat beragama, mulai dari tingkat Kelurahan/Kecamatan dan Kota hingga lingkungan yang lebih luas.
Pada sisi lain para Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat perlu meningkatkan wawasan kebangsaan (nasionalisme) agar terbangun pemahaman, bahwa pluralisme adalah anugerah Tuhan yang harus dikelola menjadi potensi pembangunan bangsa dan negara, demi kesejahteraan bersama. Saya percaya para Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat di kota administrasi Jakarta Timur telah berbuat untuk memantapkan kerukunan antar umat beragama, karenanya saya berharap kiranya kita tetap bekerjasama untuk membangun kebersamaan dan terus berkarya demi kemajuan bangsa dan negara, khususnya kota administrasi Jakarta Timur. Akhirnya dengan mengucapkan “Bismillahirohmannirohim “Forum Silaturahmi Muspiko dengan Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama di kota administrasi Jakarta Timur, secara resmi saya nyatakan dibuka.

Sekian dan terima kasih.
Wabillahi taufik wal hidayah
Wassalamu a’laikum WR.WB

Walikota Jakarta Timur
Drs.H. Krisdianto, M.Si


Tidak ada komentar:

Posting Komentar