Rabu, 11 September 2013

Melestarikan Budaya Betawi dengan Kerajinan Tangan



 
R. Emma Damayanti

Batik dan craft Betawi mungkin terdengar asing di telinga  masyarakat. Batik dan craft Betawi bisa dikatakan hampir tenggelam di tengah gempuran batik dan craft dari berbagai wilayah di pulau Jawa, seperti batik Pekalongan, Lasem, Solo, Madura, Cirebun, atau Tasik. Namun di tangan Emma, batik dan craft Betawi kembali terangkat pamornya. Sentuhan seni, corak warna,  dan motif Betawi di setiap karyanya menjadi ciri khas rancangannya.
Batik Betawi
Butik Rumah Betawi yang terletak di daerah Jatinegara Kaum itu tidak terlalu besar. Desainnya minimalis dan benuansa etnik Betawi. Di teras  dua wanita duduk beralaskan tikar. Tangan kanan mereka memegang canting. Lalu menuliskan pola batik dengan cairan malam. Sedangkan tangan kiri memegang kain putih yang sudah dimotif. Dengan penuh kesabaran dan ketelitian, mereka mulai membatik. Bukan batik Solo, Yogyakarta, atau Purwokerto, tapi batik tulis Betawi. Ya, batik tulis dengan motif Betawi seperti ondel-ondel, pedagang kerak telor, Si Pitung,   buah Kecapi,  tari Blantek, yoyo,  hingga busway.
          Saat masuk ke dalam butik, ada dua ondel-ondel yang diletakkan di bagian kiri dan kanan pintu masuk. Tingginya sepadan dengan orang dewasa. Di samping kiri ada lemari kaca. Di dalamnya terdapat puluhan aksesori khas Betawi seperti miniatur pedagang kerak telor, lampu teplok, penari topeng Blantek Betawi, penari Cokek Betawi, busway, ketapel, ondel-ondel, hingga buku agenda yang sampul depannya ditempeli dengan ondel-ondel. Di depan lemari kaca puluhan kain batik cap dan tulis khas Betawi yang didominasi warna yang ngjreng, seperti merah, kuning, atau oranye.  diletakkan di atas meja. Akserori dan kain khas Betawi yang ada di dalam butik itu merupakan bukti nyata eksistensi budaya Betawi yang masih tetap bertahan dan terus berkembang. 
Pensil  dengan aksesori ondel-ondel

       Di pojok butik, wanita berdarah Betawi yang akrab disapa Emma sedang  berbincang dengan dua orang wanita perwakilan dari Dekranasda DKI Jakarta. Sepuluh menit berselang, Emma  mengajak genie dan dua perwakilan dari Dekranasda DKI Jakarta menuju workshop pembuatan aksesori Betawi yang terletak di samping butik. ”Jadi di sini proses pembuatan aksesori Betawi mulai dari pemotongan limbah kayu, diamplas, diukir, hingga pewarnaan. Ada 15 orang karyawan yang membantu proses pengerjaan,” imbuhnya.


       Emma menekuni aksesori Betawi sudah setahun belakangan ini. Ia bercerita, saat akan mengikuti pameran Inacraft tahun 2011,  ia membuat 25  pasang miniatur ondel-ondel. Miniatur itu hanya sebagai ”pelengkap” di stand pameran miliknya yang menjual kebaya encim dan kain batik Betawi. ”Di luar dugaan saya, ternyata pengunjung malah tertarik membeli. Saya juga sepasang miniatur ondel-ondel Rp 350 ribu. Tidak ada hitungan jam miniatur ondel-ondel sudah habis terjual. Dari situlah saya mulai menekuni kerajinan craft Betawi,” ungkapnya.
     Wanita yang sudah hobi menjahit dan membordir sejak masih remaja ini mengatakan, ide awal membuat aksesori ini tidak hanya   untuk melestarikan budaya Betawi, tapi juga mengolah limbah kayu menjadi produk seni yang  memiliki nilai ekonomis. Emma mengungkapkan, setiap kali karyawannya ingin membuang limbah kayu dari usaha furnitur milik almarhum ayahnya yang hingga saat ini masih berjalan di daerah Lio, Jatinegara Kaum, ia harus merogoh kocek sebesar Rp 150 ribu. ”Setiap kali buang limbah kayu, kita harus bayar Rp 150 ribu. Lalu saya berfikir untuk mengolah limbah kayu menjadi produk kerajinan yang bisa dijual dan juga ada sentuhan seninya. Saya jual aksesori mulai dari Rp 15 – 500 ribu,” jelasnya.
Selain aksesori Emma juga mengembangkan batik Betawi dan baju encim bergaya kontemporer. Ciri khas betawi sangat kental terdapat di produk Emma. Terlihat dari warna yang mencolok menggambarkan orang Betawi yang selalu bersemangat.  ”Saya sebagai salah satu oarang keturunan Betawi di Jakarta Timur tepatnya Jatinegara Kaum (klender) merasa terpanggil Untuk melestarikan Budaya Betawi yang sudah mulai pudar. Saya ingin membuktikan bahwa Betawi mempunyai kekhasan atau keunikan tersendiri dalam membuat seni yang cantik, anggun, indah, dan lucu dengan konsep modern kontemporer dan Klasik tanpa melupakan ciri dan khas Betawi,” tukasnya.
yoyok salah satu permainan masyarakat Betawi
Selama tiga tahun merintis bisnis fashion dan craft Betawi, Emma merasa senang karena hasil karyanya dihargai dan dapat dinikmati banyak orang. Tidak hanya masyarakat Jakarta tapi juga luar kota hingga mancanegara. ”Saya sangat terharu ketika pada tanggal 22 Desember 2012, saya mendapat penghargaan sebagai Pengusaha Budaya Wanita. Penghargaan itu langsung diserahkan Gubernur DKI Jakarta Bapak Jokowi berserta istri dan juga Ahok berserta istri di Monas,” ungkapnya penuh haru.
Meski sudah mendapat beberapa penghargaan, namun Emma merasa miris ternyata masih ada saja orang yang menjiplak karyanya. Padahal karyanya sudah memiliki hak cipta dari Dirjen HAKI. ”Ya masih ada aja sih yang ngejiplak karya saya. Tapi ya mau gimana lagi capek juga ngurusinnya. Saya ingin fokus aja dengan karya saya. Waktu itu pernah ada batik tulis Betawi yang baru dibuat, ternyata sudah ada yang menjual juga,” pungkasnya.
Disinggung mengenai omzet penjualan, wanita yang mendapat penghargaan dari Kementrian Koperasi Dan Usah Kecil Dan Menengah Republik Indonesia karena dedikasinya dalam mengembangkan produk inovatif berbasi budaya Betawi ini mengulas senyum. Ia mengatakan sudah sejak tahun belakangan ini omzetnya mencapai satu miliar dalam satu tahun. ”Saya bersyukur sejak Pak Jokowi menaruh apresiasi terhadap budaya Betawi dan mengharuskan pegawai Pemda DKI memakai busana Betawi, omzet saya bertambah. Sata tahun ini omzet bisa tembus satu miliar,” imbuh Emma yang dalam waktu dekat akan menggelar pameran budaya Betawi di China. Jack


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar